Ayah Pulang

Malam mulai merambat mendekap kota Jakarta, menebar kegelapan, menutupi segala gairah manusia yang menyebar sejak pagi buta, berlalu-lalang di penjuru Ibu Kota.

Tapi, manusia itu terlalu angkuh untuk tunduk kepada gelapnya malam, mereka berlomba dengan waktu untuk memenuhi hasrat yang selalu muncul, bagaikan buih dari deburan ombak. Mereka bersekutu dengan lampu untuk menggantikan sang mentari yang selalu tunduk pada sang Maha Pengatur. 

Mereka membuat kegaduhan seakan malam tidak pernah melalui dirinya, berpura-pura ketika badannya ingin tunduk dan ikut sang malam. Mengaso seiring dengan eratnya rengkuhan malam.

Sebagian dari mereka menikmati keadaan itu, entah karena harus atau terbiasa.

Sebagian dari mereka tersiksa dan ingin kembali bercengkrama dengan sang malam sesuai dengan kodratnya, menikmati halusnya keheningan yang merambat menentramkan jiwa, berbaring untuk membiarkan seluruh organ tubuh menikmati masa-masa berharganya.

Sebagian dari mereka telah berhasil mengalahkan sang penguasa keinginan itu, bercengkrama dengan syahdunya malam dan tinggal dalam surga di bawah atap rumahnya, berpelukan dengan anak yang selalu di cintainya, didampingi sang istri, seakan bidadari baginya. Bercengkrama sambil dipeluk erat sang malam, dalam hening dan damai.